Banda Aceh – Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) Bidang Keuangan, Kekayaan Aceh, dan Investasi akan segera memanggil manajemen Bank Aceh Syariah (BAS) untuk dimintai klarifikasi terkait kebijakan penempatan dana investasi di luar Aceh serta rendahnya penyaluran pembiayaan untuk usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Ketua Komisi III DPRA, Hj. Aisyah Ismail yang akrab disapa Kak Iin, menegaskan pihaknya menyoroti serius keputusan BAS menempatkan dana sebesar Rp7,05 triliun di luar daerah, sementara target pembiayaan UMKM belum terpenuhi. Padahal, Qanun Lembaga Keuangan Syariah (LKS) mewajibkan bank syariah di Aceh menyalurkan minimal 40 persen pembiayaan ke sektor UMKM sejak 2022.
“Kami akan segera memanggil manajemen Bank Aceh untuk meminta klarifikasi terkait penempatan investasi di luar Aceh dan penyaluran kredit UMKM yang tidak memenuhi amanah Qanun LKS,” kata Kak Iin,Senin (22/09/2025).
Ia menambahkan, Aceh saat ini hanya memiliki dua bank yang beroperasi, yakni Bank Aceh dan Bank Syariah Indonesia (BSI). Karena itu, menurutnya, kinerja keduanya harus ditingkatkan agar dapat menjadi bank devisa dan menopang pembangunan ekonomi daerah.
“Di Aceh hanya ada dua bank, yaitu Bank Aceh dan BSI. Kita minta kinerjanya diperbaiki supaya keduanya menjadi bank devisa dan Aceh ke depan makmur serta bermartabat,” ujarnya.
Komisi III juga berkomitmen meminta agar setiap kebijakan yang merugikan kepentingan Aceh dikembalikan dan diperbaiki. “Kalau ada yang salah, kita minta dikembalikan untuk membangun Aceh,” tutup Kak Iin.
Data Perbandingan Bank Aceh vs Bank Nagari Lembaga kajian Institute for Development of Acehnese Society (IDeAS) sebelumnya merilis analisis kinerja BAS dengan membandingkannya dengan Bank Nagari (BPD Sumatera Barat), dua bank daerah dengan aset relatif setara.
Total aset 2024: BAS Rp31,94 triliun, Bank Nagari Rp32,95 triliun.
Investasi surat berharga: BAS Rp7 triliun, Bank Nagari Rp4 triliun.
Pembiayaan UMKM: Bank Nagari Rp6,49 triliun atau 26% dari total pembiayaan; BAS hanya Rp2,47 triliun atau 12%.
Profitabilitas: Bank Nagari laba bersih Rp538 miliar, BAS Rp443 miliar.
Direktur IDeAS, Munzami Hs, menilai BAS belum menunjukkan komitmen optimal terhadap mandat pembangunan ekonomi daerah. “Bank Aceh dibentuk sebagai lokomotif ekonomi rakyat Aceh. Jika dana triliunan justru diparkir di surat berharga, itu sama saja mengkhianati kepercayaan publik,” tegasnya.
IDeAS juga menyoroti ketidakpatuhan BAS terhadap Qanun LKS No.11/2018 yang mewajibkan minimal 40% pembiayaan ke sektor UMKM, serta Peraturan BI No.14/22/PBI/2012 yang menetapkan batas minimal 20%.
Atas dasar itu, IDeAS mendesak DPR Aceh untuk segera memanggil manajemen BAS guna memberikan klarifikasi publik terkait arah kebijakan pembiayaan dan kepatuhan terhadap regulasi. Seruan ini kini direspons oleh Komisi III DPRA dengan rencana pemanggilan resmi terhadap Bank Aceh.
Wakil Ketua DPR Aceh Minta Mualem Reformasil Total Sebelumnya, pada 17 September lalu, Wakil Ketua DPR Aceh dari Fraksi Nasdem, Ir. Saifuddin Muhammad (Yah Fud), menilai Bank Aceh Syariah tengah menghadapi persoalan serius. Ia menyoroti penempatan dana hingga Rp8 triliun ke luar Aceh, termasuk kredit korporasi untuk perusahaan di daerah lain, sementara pembiayaan UMKM di Aceh masih seret. Menurutnya, manajemen Bank Aceh terkesan hanya bermain aman dengan investasi di luar, padahal fungsi utama bank daerah adalah menggerakkan ekonomi Aceh.
Yah Fud menegaskan portofolio pembiayaan produktif Bank Aceh untuk UMKM masih di bawah 15 persen, jauh dari target minimal 40 persen sesuai Qanun LKS. Akibatnya, banyak pelaku usaha kecil kesulitan mendapatkan akses kredit dan terpaksa mencari pinjaman ke lembaga lain. Karena itu, ia meminta Gubernur Aceh, Muzakir Manaf selaku pemegang saham pengendali, melakukan reformasi menyeluruh di Bank Aceh agar benar-benar menjadi pilar kemajuan ekonomi rakyat Aceh.(*)













