Acehpost.id | Yogyakarta — Sekelompok mahasiswa yang tergabung dalam Keluarga Aceh Besar Yogyakarta (KABY) menyelenggarakan “Meudrah” karya sastra perang Aceh. Kegiatan yang diselenggarakan di Yogyakarta ini mengangkat Hikayat Prang Goumpeni karya Abdul Karim atau yang lebih dikenal dengan Do Karim. Do Karim merupakan sastrawan Aceh ternama yang bermukim di Keutapang Dua, Aceh Besar. Hikayat Prang Goumpeni ini dikarang di masa Perang Aceh melawan Belanda.
Ketua KABY, Muhammad Mufariq, dalam keterangannya menjelaskan bahwa kata Goumpeni dalam karya Do Karim mengacu pada Pemerintah Kolonial Belanda. “Kata ini diadopsi dari “Compagnie” pada VOC, aliansi dagang Belanda yang menginvasi Nusantara pada abad ke-17. Di dalamnya memuat kisah yang menceritakan perjuangan heroik masyarakat Aceh Besar melawan penjajahan Belanda. Namun ditengah arus modernisasi yang terus mengalir di Aceh, keberadaannya semakin terancam. Banyak orang hanya sekadar tahu namanya, tetapi jarang yang membaca isinya.” Ungkap Mufariq.
Lebih lanjut ia menegaskan bahwa generasi muda perlu memberikan perhatian pada warisan intelektual masa lalu. “Tanyoe tanyoe jinoe yang muda, ka jatah tanyoe ta lestarikan keuneubah indatu awai, salah saboh jih mahakarya sastra hikayat prang goumpeni nyoe, harapan kamoe lheuh ta meudrah ngon ta tuleh ulang teuma, beujeut keu lebeh mudah bak ta pelajari ukeu, dan talake doa hikayat nyoe beu jithee ban sigom donya”. Ucap Ketua Umum KABY tersebut.
Dalam upaya pembelajaran karya sastra ini, KABY mengadopsi konsep “meudrah”. Meudrah merupakan model pembelajaran tradisional yang selama ini berkembang secara kultural di Aceh. Kata Meudrah berasal dari bahasa arab درس yang berarti belajar. Mufariq mengatakan, KABY ikut berperan dalam melestarikan kebudayaan Aceh di luar daerah.
Dalam kesempatan ini KABY juga bekerja sama dengan Center for Hikayat Studies @hikayat.studies dalam melakukan penulisan ulang naskah tersebut ke dalam ejaan yang telah disempurnakan. Transliterasi ini penting untuk memudahkan pembaca masa kini dalam memahami naskah teks masa lalu yang masih dalam ejaan lama. Dengan begitu karya sastra tersebut dapat bermanfaat dan mampu menjangkau audiens yang lebih luas.
Langkah selanjutnya yang diambil oleh KABY adalah memulai proses penulisan ulang Hikayat Prang Goumpeni. Dengan tujuan untuk membuatnya lebih terstruktur dan dapat dipahami oleh pembaca modern, upaya penulisan ulang ini bertujuan untuk menjaga relevansi karya sastra ini bagi generasi masa kini dan mendatang. []