Acehpost.id |Banda Aceh — Mahasiswa/i Prodi Pengembangan Masyarakat Islam (PMI) Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Ar-Raniry berkolaborasi dengan Prodi lainnya se-lingkungan FDK UIN Ar-Raniry mengikuti kuliah tamu dengan tema “Media dan Budaya: Antara Penghubung dan Cita-Cita” (20/2)
Kegiatan kuliah tamu dilaksanakan dengan mengundang langsung dosen pakar Komunikasi dan Media dari STAI Mandailing Natal yaitu Dr. Datuk Imam Marzuki sebagai narasumber. Acara dibuka langsung oleh Dr. Mahmuddin, M.Si selaku Wakil Dekan 1 Bidang Akademik dan Kelembagaan, kemudian dilanjutkan dengan pemaparan dan diskusi oleh narasumber yang dibersamai langsung oleh Syahril Furqany, S.Ag., M.I. Kom selaku ketua prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI).
Acara yang mengusung tema “Media dan Budaya: Antara Penghubung dan Cita-Cita” tersebut dilaksanakan sebagai respon terhadap banyaknya masyarakat Indonesia khususnya para remaja yang kini sudah mulai kehilangan jati dirinya sendiri akibat adanya perubahan sosial budaya yang disebabkan oleh arus perkembangan informasi melalui media massa sebagai saluran percepatannya.
Dr. Mahmuddin, M.Si dalam sambutannya menyampaikan bahwa Media massa dapat menciptakan budaya baru yang dapat melengkapi/menyempurnakan budaya lama yang tidak bertentangan. Media massa dapat merubah norma-norma budaya yang telah ada dan berlaku sejak lama serta merubah perilaku masyarakat itu sendiri. Media adalah (penghubung) yang akar katanya adalah medium. Dewasa ini perubahan terasa semakin pesat, jika tidak ingin berubah maka akan tertinggal, begitu pula sebaliknya jika ingin berubah maka harus bisa beradaptasi dengan segala bentuk perubahan termasuk penggunaan media.
Syahril Furqany turut menambahkan bahwa media massa kini terus menggerus budaya asli, bahkan ada sebagian masyarakat berpendapat bahwa mempelajari sejarah berarti berfikir mundur. Pendapat seperti ini sering sekali mewakili argumentasi pemuda millenial dimana realistis pengetahuan terhadap sejarah dan masa lalu mulai memudah bahkan hilang di telan zaman.
Dr. Datuk Imam Marzuki mengatakan bahwa pelestarian suatu budaya lokal itu dimulai dari mana dia menghargai serta menjaga peninggalan-peninggalan leluhur, baik itu artefak makam para raja-raja, dengan begitu kita bisa menjelaskan siapa kita kepada dunia. Bila tidak kita jaga maka dia akan tergradasi/tergerus seiring berjalannya waktu.
Berbicara tentang budaya, erat kaitannya dengan nasab seseorang. Nasab bisa dikatakan sebagai pintu awal untuk mengetahui keturunan dan dzuriyat-dzuriyat, berasal dari mana leluhur kita. Siapa kita, dari mana kita dan hendak kemana kita. Maka dari itu para generasi harus mengetahui nasab serta dzuriyat-dzuriyat mereka, menjadi tugas kita semua untuk menjaga agar tidak tergradasi/tergerus.
Datuk Imam Marzuki juga mengatakan bahwa Datuk beliau atau leluhur beliau yang bernama Datuk Darah putih, nisan di makamnya sangat mirip dengan nisan-nisan yang ada di makam Syiah Kuala. Dibelahan dunia, budaya mengunjungi makam-makam tua sering disebut pilgrimage tour atau populernya dengan rihlah peradaban. Beberapa negara Islam yang sering melakukan ini seperti negara Iran, Pakistan, Turki, dan Sudan. Di samping aspek wisata karena kegiatan ini juga mengandung unsur spiritual dan religious. Makam tua peninggalan di pulau Sumatra merupakan sebuah kajian yang menarik. Dalam konteks sejarah ia merupakan bahagian dari dalam bentuk artefak demgan motif batu nisan. Ini bersifat akomodatif terhadap budaya okal yang bertujuan untuk melestarikan budaya dari kepunahan. Ia menjadi cermin kebudayaan melahirkan nasionalisme dan kemajemukan. Ini juga praktik budaya dan keagamaan yang sepenuhnya belum ditinggalkan masyarakat.
Seakan membantah teori Geertz Riaz yang mengatakan semakin modern suatu masyarakat maka semakin meninggalkan praktik keagamaan tradisional.
Media massa dapat menciptakan budaya baru yang dapat melengkapi/menyempurnakan budaya lama yang tidak bertentangan. Media massa dapat merubah norma-norma budaya yang telah ada dan berlaku sejak lama serta merubah perilaku masyarakat itu sendiri. Puluhan makam raja dan ulama di desa (Gampoeng) Pandee Banda Aceh, tertimbun tanah pembangunan. Akibatnya sejumlah nisan sejarah kerajaan Aceh yang baru saja di ikat dengan kain kuning hilang dilumat tanah.
Terakhir Dr. Datuk Imam Marzuki juga menyampaikan, dengan belajar budaya ini bukan berarti kuno, kita juga bisa mengkampanyekan serta mengusulkan kepada pemerintah ataupun dinas pariwisata untuk “KEMBALIKAN IDENTITASKU”.[]